Perlawanan Kaum Padri di Sumatera Barat. Kebiasaan minum-minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam, dimata orang-orang Padri bertentangan dengan agama Islam. Kaum Adat mempertahankan kebiasaan itu mati-matian. Timbullah kontradiksi yang sengit antara kaum budpekerti dan kaum padri. Timbulnya gerakan Padri di Sumatera Barat, bermula dengan kedatangan tiga orang haji asal Minangkabau dari Mekkah. Ketiga haji itu ialah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang pada tahun 1803. Ketiga haji itu membawa perubahan gres dalam masyarakat Minangkabau. Mereka di Mekkah menyaksikan kerasnya perjuangan kaum Wahabi untuk membersihkan agama Islam dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari fatwa Al’Quran. Tujuan gerakan Padri ini ialah untuk memperbaiki masyarakat Minangkabau dan akan mengembalikannya pada keadaan yang sesuai dengan fatwa Islam.
Pengaruh kaum Padri makin usang makin terasa di kalangan masyarakat Minangkabau, lebih-lebih sesudah para ulama usang ikut berbagi paham gres itu. Kaum Adat tidak tinggal diam. Dengan dipimpin oleh Datuk Sati, kaum Adat menyerang kaum Padri di Alahan Panjang yang dipimpin oleh Datuk Bendaharo.
Kekuatan absurd muncul di Sumatera Barat (1818) Raffles, penguasa tertinggi Inggris di Indonesia tiba ke Sumatera Barat. Kedatangannya ialah untuk mengetahui situasi terakhir sebelum tempat ini diserahkan kepada Belanda berdasarkan Konvensi London 1814. Raffles tidak kunjung tiba, alasannya ialah Inggris harus menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda. Mereka tidak bisa menghadapi perlawanan kaum Padri dan perlawanan Diponegoro bersama-sama.
Kaum Padri dalam menghadapi kaum Adat terpecah dua. Kaum Padri yang bersikap keras dalam menghadapi kaum Adat dan kaum Padri yang bersikap lunak. Perpecahan ini secara tidak pribadi menguntungkan Belanda.
Perlawanan kaum Padri di pelbagai tempat makin meluas, alasannya ialah mereka mengetahui, bahwa militer Belanda yang tinggal di Minangkabau sebagian besar dipindahkan ke tempat lain. Kaum Padri di Naras di bawah pimpinan Tuanku nan Cerdik Besar berhasil mengalahkan Belanda di bawah pimpinan Kapten De Riaheman. Perlawanan kaum Padri dipusatkan di Bonjol. Bonjol diperkuat dengan perbentengan dan meriam. Siasat kaum Padri di Bonjol ialah menguasai daerah-daerah sekitar Bonjol (Tiku, Agam, Alahan Panjang, Semawang Gedang, Kumpolan). Pasukan Padri berjumlah 7000 orang, yang terdiri atas 4000 orang pasukan Imam Bonjol dan 3000 orang pasukan Tuanku nan Cerdik Besar. Pasukan ini disebar untuk menguasai daerah-daerah sekitar Bonjol dan sebagian lagi mempertahankan benteng Bonjol yang pribadi dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, Tuanku nan Gapuk, dan Tuanku Hitam.
Setelah perlawanan Diponegoro sanggup dipatahkan (1830), Belanda memutus-kan kasus dengan kaum Padri di Sumatera Barat harus secepatnya diselesai-kan. Untuk keperluan itu maka oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch diadakan mutasi pimpinan pemerintahan Belanda di Sumatera Barat. Kolonel GPJ. Elout diangkat menjadi Residen merangkap pimpinan tertinggi Belanda di Sumatera Barat. Tugas pertama dari Elout ialah mematahkan perlawanan kaum Padri atau setidak-tidaknya menghalang-halangi meluasnya kekuasaan kaum Padri.
Untuk mempercepat penyelesaian kasus kaum Padri, Belanda memper-besar kekuatannya. Pasukan Sentot Prawirodirdjo yang terdiri atas 300 orang dipakai pula untuk menghadapi kaum Padri. Di Sumatera Barat ini Sentot mengadakan korelasi diam-diam dengan kaum Padri, sehingga menjadikan kecurigaan kaum Belanda (Kolonel Elout).
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol sanggup dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan pribadi ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan perdamaian ini ialah siasat mengulur waktu, semoga sanggup mengatur pertahanan lebih baik, yaitu menciptakan lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng. Kegagalan negosiasi ini mengakibatkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk sanggup menduduki benteng Bonjol, yang didahului dengan pertempuran sengit. Meriam-meriam benteng Bonjol tidak banyak menolong, alasannya ialah musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak sanggup dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol sanggup dimasuki oleh Belanda mengakibatkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya mengalah pada tanggal 25 Oktober 1837. Walaupun Imam Bonjol telah mengalah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah sanggup dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1837 (bulan November) dan tahun 1841.
Sumber http://coretan-berkelas.blogspot.com/
Komentar
Posting Komentar