what I'm packing for a beach vacation!

Perlawanan Sultan Hasanuddin Di Sulawesi Selatan



Perlawanan Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan


Di Sulawesi Selatan pada abad-abad yang kemudian (abad ke 17-19) terdapat beberapa suku bangsa yang mempunyai kekuasaannya masing-masing. Orang-orang suku Makassar mempunyai kerajaan Gowa dan kerajaan Taloo. Orang-orang suku Bugis, mempunyai kerajaan Luwu, kerajaan Bone, kerajaan Soppeng, kerajaan Wajo, kerajaan Ternate, kerajaan Sawitno. Orang-orang suku Mandar mempunyai kerajaan Balanipa, kerajaan Binuang, kerajaan Campalagiang, kerajaan Pambuaung, kerajaan Cenrana, kerajaan tapalang, kerajaan Mamuju. Orang-orang suku Toraja mempunyai kerajaan Makale, kerajaan Sangalla dan kerajaan Mangkedek. Kerajaan-kerajaan ini bermacam-macam, ada yang besar kekuasaannya, ada pula yang kecil. Sebutan raja-rajanya pun bermacam-macam. Raja-raja orang-orang Makassar disebut Kareng; raja-raja orang-orang Bugis disebut Aru atau Arung; raja-raja orang-orang Mandar disebut Maraddia.

Perkembangan politik, ekonomi dan sosial di Sulawesi Selatan pada abad-abad yang kemudian sangat dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan itu yang besar pengaruhnya yaitu kerajaan Gowa dan kerajaan Bone. Kerajaan Gowa kemudian bersatu dengan kerajaan Tallo, populer dengan nama kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan Gowa-Tallo ini bersikap anti Belanda oleh sebab Belanda menjalankan politik monopoli perdagangan rempah-rempah, politik ekstirpasi dan mencampuri urusan penggantian takhta (politik devide et impera). Di samping itu, Belanda berusaha membatasi pelayaran bahtera pinisi orang-orang Makassar di Maluku. Raja-raja Gowa-Tallo beropini bahwa Tuhan Yang Maha Esa membuat laut, oleh sebab itu siapa pun boleh melayarinya untuk mencari nafkah. Orang-orang suku Makassar dengan bahtera pinisinya melayari laut-laut di kepulauan Maluku untuk berdagang rempah-rempah. Kemudian rempah-rempah itu dibawa ke Sombaopu pelabuhan kerajaan Gowa. Dari sini rempah-rempah, kayu cendana, dan barang-barang perdagangan lainnya (kayu hitam, hasil-hasil laut) diangkut dengan bahtera pinisi oleh orang-orang suku Makassar ke pelabuhan-pelabuhan pantai utara pulau Jawa (Gresik, Surabaya, Tuban, Jepara, Batavia) dan Malaka. Di tempat-tempat ini barang-barang itu ditukarkan dengan barang-barang lain (perdagangan barter). Orang-orang suku Makassar telah melayari laut-laut kepulauan Nusantara secara turun-temurun. Oleh sebab itu saat Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan pelayaran, mereka menentang mati-matian. Lautan bagi orang-orang suku Makassar yaitu problem to be or not to be, yaitu problem hidup atau mati.
Sebenarnya pandangan raja-raja Gowa-Tallo perihal lautan tidak berbeda dengan pandangan Belanda saat yang terakhir ini menghadapi Portugis dan Spanyol yang menurut Perjanjian Tordesillas 7 Juni 1493. Dalam perjanjian ini Paus Alexander VI membagi dunia menjadi dua bagian. Satu pecahan menjadi wilayah kekuasaan Portugis dan satu pecahan lagi menjadi wilayah kekuasaan Spanyol.
Grotius, spesialis aturan bahari berkebangsaan Belanda, menyusun pem-belaan hak Belanda untuk berbuat menyerupai Portugis dan Spanyol. Ia membela hak Belanda dengan membuat lautan bebas dan hak orang Belanda untuk berlayar dan berniaga di daerah-daerah Hindia Timur (Mare liberum sive de jure qoud Batavis competit ad Indicana commercia).
Lautan bebas yang menjadi prinsip Belanda tidak pernah dilaksanakan saat berhadapan dengan raja-raja Gowa-Tallo. Yang dilaksanakan yaitu prinsip sebaliknya (mare clausum). Perbedaan antara prinsip dan pelaksanaan ini menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan dengan penguasa-penguasa bumiputera pada umumnya dan raja-raja Gowa-Tallo pada khususnya.
Sultan Hasanuddin, Sultan XVI kerajaan Gowa-Tallo membela kepentingan kerajaannya dan kepentingan rakyatnya dengan mati-matian melawan Belanda. Ia menggantikan ayahnya, Sultan Muhamad Said yang wafat pada tahun 1653. Selama pemerintahannya (1653-1670) ia berusaha menegakkan kedaulatan kerajaannya dan memperluas wilayah kerajaannya. Usaha ini menimbulkan ia berhadapan dengan Aru Palaka, raja Bone.
Aru Palaka dalam menghadapi Hasanuddin menerima pinjaman Belanda. Bahkan kemudian Aru Palaka menjadi orang iman Belanda. Kendatipun Belanda telah mengetahui, bahwa Hasanuddin yaitu sultan yang anti Belanda, tetapi mereka berusaha pula untuk mendekatinya. Pada tanggal 28 Desember 1659 Belanda mengadakan perjanjian dengan kerajaan Gowa. Isi pokok perjanjian itu yaitu sebagai berikut:
1.   Orang-orang Makassar yang masih berada di tempat Ambon boleh kembali ke negerinya.
2.   Raja Gowa boleh menagih semua hutang-piutangnya yang ada di Ambon.
3.   Orang-orang tawanan di kedua belah pihak akan diserahkan kepada masing-masing pihak.
4.   Musuh-musuh VOC tidak perlu menjadi musuh-musuh kerajaan Gowa.
5.   Orang-orang Belanda tidak akan mencapuri perselisihan orang-orang Makassar.
6.   Orang-orang Belanda atas nama VOC boleh menangkap semua orang-orang Makassar yang kedapatan berlayat di kepulauan Maluku.
7.   Raja Gowa akan memperoleh ganti kerugian sepenuhnya untuk saham baginda dalam kapal Portugis yang berjulukan “St. Joan Bapthista” yang dirampas Belanda.
Pemerintah sentra VOC di Batavia amat kecewa kepada Willem van der Beeck yang telah mengadakan perjanjian dengan kerajaan Gowa. Oleh sebab itu, Belanda berusaha membatalkan perjanjian 28 Desember 1655 itu, yakni dengan membuat tafsiran yang menguntungkan Belanda. Misalnya, Belanda berhak menghancurkan semua bahtera pinisi kerajaan Gowa yang berlayar di Maluku. Belanda sanggup memperlihatkan pinjaman kepada raja-raja yang diserang oleh Sultan Hasanuddin.

Sumber http://coretan-berkelas.blogspot.com/
{codeBox}

Komentar